Judul Buku | Bidadari-bidadari Surga |
---|---|
Penulis | Tere-Liye |
Penerbit | Republika |
Harga | Rp ,- |
SUMMARY
Ide ceritanya aku rasa sederhana saja, tentang pengorbanan seorang kakak (Laisa) demi kesuksesan keempat adik tirinya (Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta). Juga cinta, semangat, kerja keras, dan doa kepada Tuhan. Namun, Tere-Liye mengemasnya dengan begitu cantik, apik, menyentuh, dan sangat manusiawi. Deskripsinya tentang keindahan alam Lembah Lahambay yang dikelilingi batu cadas setinggi lima meter, Gunung Kendeng, sungai, hutan rimba, dan kebun strawberry nyaris sempurna. Pembaca seolah-olah menyaksikan sendiri panorama-panorama tersebut di depan matanya, persis menonton sebuah film dengan alur maju-mundur yang begitu rapat.
Dalam novel ini kita bisa belajar banyak hal, selain yang aku sebutkan di atas. Salah satunya adalah tentang takdir Tuhan, yaitu bahwa HIDUP, JODOH, REZEKI, dan MATI adalah sepenuhnya milik Allah. Manusia hanya bisa berikhtiar dan berdoa, tapi keputusan akhir tetaplah di tangan Allah.
Kak Laisa, seorang teladan dalam keluarga yang sudah terbiasa bekerja keras setelah babak (ayah) nya meninggal karena dimakan harimau Gunung Kendeng. Kak Lais, begitu ia dipanggil, memiliki keterbatasan fisik. Tubuhnya pendek (ketika dewasa hanya setinggi dada adik-adiknya), hitam, rambut kumal, dan gemuk serta dempal. Berbeda sekali dengan keempat adiknya yang tampan-tampan dan cantik. Ia mungkin tidak memiliki kecantikan fisik yang didambakan oleh setiap lelaki, tetapi ia memiliki kecantikan hati yang luar biasa yang mungkin sebetulnya lebih dibutuhkan oleh semua lelaki.
Bagaimana tidak, Kak Lais dengan ikhlas meminta kepada mamak (ibu) nya untuk berhenti sekolah saja saat kelas 4 SD, demi melihat keempat adik tirinya bisa sekolah, karena ia tahu saat itu mamaknya tidak punya cukup uang untuk menyekolahkan kelima anaknya sekaligus. Dengan ketekunan kerjanya bersama mamak, akhirnya Lais berhasil memiliki ribuan hektar kebun strawberry yang sebelumnya sama sekali belum pernah ditanam oleh penduduk Lembah Lahambay. Dari kampong terpencil di pinggir hutan, Dalimunte akhirnya berhasil menjadi profesor di bidang fisika yang terkenal di seluruh dunia, dengan penelitian terbarunya tentang “Badai Elektromagnetik Antar Galaksi” yang akan menghantam planet ini sebelum kiamat. Ikanuri dan Wibisana meskipun beda jarak usianya satu tahun tetapi sering dianggap kembar, berhasil mendirikan bengkel mobil modifikasi dan akan membangun pabrik spare-part mobil sport, dan Yashinta si bungsu yang mendapat beasiswa S2 ke Belanda dan menjadi peneliti untuk konservasi ekologi, meneliti tentang burung Peregrin atau Alap-alap Kawah dan sejenisnya, serta menjadi kontributor foto untuk majalah National Geographic.
Keempat adiknya tergolong mudah dalam mencari jodoh. Bagaimana tidak, mereka secara fisik menarik, pandai, shaleh, bisa menempatkan diri dengan baik, dan tetap rendah hati. Sedangkan Kak Lais? Hingga usianya 40 tahun lebih, belum juga mendapatkan jodohnya. Kak Lais bukannya tidak peduli dengan omongan penduduk kampung, apalagi setelah dilintasi (ditinggal menikah lebih dulu) tiga kali oleh adik-adiknya, tetapi Kak Lais selalu mengatakan kepada Dalimunte bahwa Allah telah mengirimkan keluarga terbaik dalam hidupnya, dan itu sudah cukup. Ia menerima takdir Tuhannya dengan lapang dada, meski tak dipungkiri setiap habis shalat tahajjud ia sering menghabiskan waktu sendirian di lereng bukit, bernostalgia tentang adik-adiknya yang dulu nakal sekali sekarang sudah sukses semua, dan tentunya merenungi tentang hidupnya sendiri; memandangi kebun strawberry yang luas, menuggu hingga langit menyemburatkan cahayanya tanda subuh menjelang. Dalimunte lah yang sering menemani kakaknya disana, setiap dua bulan sekali kepulangannya dari luar negeri.
Hingga hari kematian Kak Lais tiba karena kanker paru-paru stadium IV yang telah disembunyikan dari adik-adiknya selama sepuluh tahun, Allah belum juga menurunkan jodohnya ke bumi. Tapi mamaknya yakin sekali bahwa Lais adalah bidadari surga.
Dan sungguh di surga ada bidadari-bidadari bermata jeli (QS Al-Waqiah: 22),
Pelupuk mata bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip bagaikan sayap burung indah. Mereka baik lagi cantik jelita (QS Ar-Rahman: 70),
Bidadari-bidadari surga, seolah-olah adalah telur yang tersimpan dengan baik (QS Ash-Shaffat: 49).
Maka, dalam epilog novel ini, Tere-Liye menulis:
"Dengarkanlah kabar gembira ini.
Wahai wanita-wanita yang hingga usia tiga puluh, empat puluh, atau lebih dari itu, tapi belum juga menikah (mungkin karena keterbatasan fisik, kesempatan, atau tidak pernah ‘terpilih’ di dunia yang amat keterlaluan mencintai materi dan tampilan wajah), yakinlah, wanita-wanita shalehah yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, berbagi, berbuat baik, dan bersyukur, kelak di hari akhir sungguh akan menjadi bidadari-bidadari surga. Dan kabar baik itu pastilah benar. Bidadari surga parasnya cantik luar biasa."
Jika di-rating dalam rentang 1 – 10, aku akan memberi nilai 9. Novel ini nyaris sempurna. Namun, ada beberapa kalimat awal dalam bab 39 (halaman 309) dan bab 44 (halaman 353) yang sedikit mengganggu alur cerita. Di bab 39, paragraf pertama, pengarang menulis seperti ini:
"Terus terang, mengungkit masa lalu Laisa bukanlah bagian yang menyenangkan. Tetapi tidak adil jika kalian tidak tahu ceritanya. Apalagi untuk mengerti utuh semua kisah ini. Mengerti betapa Kak Laisa tulus melakukan semuanya. Maka, dengan melanggar janjiku kepada keluarga mereka, ijinkanlah aku menceritakannya."
Dan di bab 44, sebanyak dua halaman, pengarang menulis tentang apa perannya dalam cerita di novel ini. Tere-Liye adalah saksi hidup atas peristiwa dalam keluarga mamak dan Laisa. Dan dia adalah salah satu penerima SMS mamak (selain keempat anaknya yang lain) yang mengabarkan tentang kondisi Laisa yang sedang kritis. Setelah dua halaman tersebut, pengarang kembali melanjutkan ceritanya dengan alur maju.
Agak janggal membaca novel seperti ini. Dimana sedang enak-enaknya menikmati alur cerita yang begitu indah, harus “terganggu” dengan fakta yang disampaikan pengarang yang mungkin sebenarnya tidak terlalu penting bagi pembaca. Misalnya, tentang apa hubungan pengarang dengan kisah yang ditulisnya, bagaimana perang batin dalam diri pengarang tentang apa yang boleh dan tidak boleh dikisahkan dalam novel ini, dan sebagainya. Mungkin hal-hal tersebut bisa dituliskan pengarang dalam kata pengantar atau dalam ucapan terima kasihnya, bahwa novel ini diangkat dari kisah nyata, misalnya, lalu proses perjuangan yang dilalui pengarang selama menulis, dst, dan bukan dalam “isi” novelnya.
Overall, novel ini sangat layak diapresiasi! Di tengah situasi negara ini yang “dibuat” oleh media seolah-olah sudah sangat bobrok dan tidak bermoral, Tere-Liye dengan cerdas dan menyentuh mampu mengangkat kisah sebuah keluarga kecil yang mungkin keberadaannya tidak diperhitungkan di tanah Indonesia yang begitu luas ini.
Apalagi jika benar bahwa ini cerita nyata dan telah dibaca oleh ribuan bahkan jutaan pasang mata, tidaklah mustahil jika suatu saat hikmah dalam novel ini akan memberi perubahan besar terhadap Indonesia khususnya, karena masyarakat kita telah memahami pentingnya kerja keras, doa, cinta, semangat, pantang menyerah, dan kerja keras serta kerja keras lagi.
|
Bidadari-bidadari Surga
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment